Oleh: Hurnawijaya
Kasus I Wayan Agus Suartama (IWAS) atau Agus Buntung, seorang tersangka pelaku kekerasan seksual yang dituduh menggunakan status disabilitas dan manipulasi dengan ancaman (grooming) untuk mengontrol korbannya, mencerminkan realitas pahit di masyarakat kita. Viralnya kasus ini bermula dari laporan seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Nusa Tenggara Barat yang mengaku sebagai korban rudapaksa Agus Buntung. Polda NTB kemudian menetapkan IWAS sebagai tersangka pada 28 November 2024. Menariknya, saat klarifikasi, Agus justeru mengelak dengan ungkapan: “Bagaimana mungkin saya melakukan kekerasan seksual sementara untuk aktifitas sehari-hari saja saya dibantu oleh orang-orang sekitar saya?”. Agus tidak hanya mengelak, ia justeru berdalih bahwa ia adalah korban. Kasus ini kemudian viral dan menuai kontroversi dari netizan setelah beberapa portal berita mengulas kasusnya. Sebagian malah membela Agus Buntung karena menganggap ada yang janggal dari penetapan Agus Buntung sebagai tersangka. Kebanyakan beranggapan bahwa secara logika umum pengakuan Agus Buntung dapat diterima.
Situasi kemudian berubah setelah beberapa hari kasusnya viral, laporan demi laporan mengemuka bahwa kasus rudapaksa ini bukanlah yang pertama kali dilakukan Agus. Sampai kemudian Unit PPA Lombok Barat, Komisi Disablitas Daerah NTB, bahkan Mabes Polri sampai mengutus tim ke NTB untuk mengusut kasus ini. Sampai dengan hari ini (8/12/2024), korban yang melapor ke polda NTB dan Komisi Disabilitas Daerah NTB telah berjumlah 15 orang. Direktur Reskrimum Polda NTB. Kombes Pol. Syarif Hidayat mengatakan agus melakukan pelecehan kepada para korbannya dengan modus penyucian diri, melakukan manipulasi dan ancaman (grooming), bahkan dua diantara korban yang melapor adalah anak di bawah umur yang masih berstatus pelajar SMP.
Salah satu hal yang menonjol yang perlu dilihat dari kasus ini adalah bagaimana stigma sosial dan budaya diam menjadi hambatan utama bagi korban untuk melapor, sekaligus faktor yang memungkinkan tersangka pelaku mengulangi kejahatannya. Hal ini terlihat dari banyaknya korban pada kasus IWAS ini yang muncul setelah ada salah satu korban yang berani speak up dan melaporkan tindak kejahatan yang dilakukan Agus. Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan sulitnya para korban untuk segera melapor manakala ia menjadi korban kekerasan seksual, yaitu stigma sosial dan budaya diam. Untuk mengatasi persoalan ini, masyarakat perlu merefleksikan nilai-nilai yang mendasari budaya tersebut dan mengambil langkah untuk mengubahnya.
Pada kenyataannya, stigma sosial seringkali menjadi beban ganda bagi korban kekerasan seksual. Stigma sosial adalah salah satu alasan utama korban kekerasan seksual memilih untuk diam. Korban sering kali tidak hanya harus menghadapi trauma kekerasan yang mereka alami, tetapi juga penghakiman dari masyarakat yang menyalahkan mereka atas kejadian tersebut. Dalam kasus Agus Buntung, ancaman pelaku untuk membuka aib korban memperburuk stigma ini. Sebagian korban merasa bahwa melaporkan kejadian tersebut hanya akan membuat mereka dipandang sebagai “tidak bermoral” oleh lingkungan mereka (Herman, 1992). Barangkali juga mereka justeru khawatir misalnya jika melapor justeru akan “didamaikan” hanya dengan menikahkan mereka atau justeru sebaliknya korban yang dianggap sebagai pelaku karena stereotif yang telah terlanjur tertanam dalam benak masyarakat bahwa orang difabel tidak mungkin melakukan kekerasan.
Selain itu, budaya victim-blaming yang masih kuat di masyarakat kita menciptakan tekanan tambahan pada korban. Sebagai contoh, pertanyaan seperti “Kenapa korban tidak melawan?” atau “Kenapa korban berada di tempat itu?” sering kali muncul, seolah-olah tanggung jawab untuk mencegah kejahatan ada di tangan korban, bukan pelaku. Korban kekerasan seksual sering kali menghadapi stigma yang mencap mereka sebagai pihak yang “tidak bermoral” atau “tidak berhati-hati.” Stigma ini muncul dari budaya victim-blaming, di mana masyarakat lebih sering menyalahkan korban atas kejahatan yang menimpa mereka, seperti cara berpakaian, pergaulan, atau keputusan untuk berada di lokasi tertentu.
Adapun budaya diam dalam beberapa kasus kekerasan seksual seringkali menghalangi tegaknya keadilan. Budaya diam adalah fenomena di mana korban kekerasan seksual memilih untuk tidak melapor karena takut akan konsekuensi sosial, hukum, atau emosional yang mereka hadapi. Banyak korban yang tidak melapor karena takut mencemarkan nama baik keluarga, komunitas, atau institusi tempat mereka berada. Dalam beberapa budaya, reputasi keluarga dianggap lebih penting daripada keadilan bagi korban, sehingga korban sering kali dipaksa untuk diam demi “menghindari skandal.”
Menurut Stark (2007), ancaman dan kontrol psikologis oleh pelaku adalah salah satu penyebab utama korban tidak berani melapor. Dalam kasus Agus Buntung, pelaku tidak hanya memanfaatkan rasa takut korban terhadap aib, tetapi juga mengandalkan fakta bahwa korban mungkin tidak percaya bahwa mereka akan mendapatkan keadilan. Di banyak masyarakat, korban tidak yakin apakah mereka akan mendapatkan keadilan atau bahkan dukungan emosional setelah melapor. Proses hukum yang panjang, tekanan untuk mencabut laporan, atau bahkan ancaman dari pelaku atau lingkungan sosial semakin memperkuat budaya diam ini. Budaya ini juga diperkuat oleh minimnya dukungan bagi korban. Sebagaimana ditulis Anderson & Doherty (2008), Proses hukum yang panjang, risiko reviktimisasi saat pemeriksaan, dan kurangnya kepekaan aparat penegak hukum terhadap dinamika kekerasan seksual sering kali membuat korban merasa melapor adalah tindakan sia-sia.
Dua faktor inilah (stigma sosial dan budaya diam), menjadi penyebab sulitnya kasus-kasus kekerasan seksual terungkap. Dua faktor ini harus segera dikikis dengan melakukan penyadaran kepada kaum rentan terutama wanita dan anak-anak. Menurut hemat penulis, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengikis stigma sosial dan budaya diam dapat dilakukan dengan beberapa langkah, seperti:
Pertama, meningkatkan literasi dan edukasi publik. Edukasi tentang kekerasan seksual harus menjadi prioritas di semua lapisan masyarakat. Literasi seksual yang komprehensif dapat membantu masyarakat memahami pentingnya menghormati hak individu dan mengurangi budaya victim-blaming. Selain itu, edukasi ini juga perlu mencakup pemahaman tentang bagaimana memberikan dukungan kepada korban.
Kedua, membuka akses yang aman bagi korban. Pemerintah dan lembaga terkait perlu menyediakan jalur aman bagi korban untuk melapor, seperti hotline, layanan konseling gratis, atau lembaga perlindungan khusus. Dalam kasus Agus Buntung, korban merasa terjebak karena tidak adanya ruang aman untuk berbicara tanpa takut akan dampaknya.
Ketiga, menegakkan hukum secara tegas. Penegakan hukum yang cepat dan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual adalah langkah penting untuk menciptakan rasa percaya di kalangan korban. Selama ini solusi ‘perdamaian’ yang ditawarkan menyebabkan terus terjadinya kasus-kasus serupa di masa depan. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang hanya berakhir di meja laporan tanpa tindak lanjut menyebabkan para pelaku terus melakukan kejahatan yang sama, juga mengakibatkan enggannya para korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Selain itu, pelatihan untuk aparat penegak hukum tentang cara menangani kasus kekerasan seksual dengan sensitif dan profesional harus ditingkatkan.
Keempat, mengubah narasi sosial tentang kejahatan seksual. Media dan tokoh masyarakat memiliki peran besar dalam mengubah cara masyarakat melihat korban kekerasan seksual. Narasi yang fokus pada keadilan untuk korban dan pemberantasan pelaku, daripada menyalahkan korban, perlu terus disuarakan untuk mengikis stigma.
Kasus Agus Buntung adalah refleksi nyata tentang bagaimana budaya stigma dan diam memperparah dampak kekerasan seksual. Korban tidak hanya harus berjuang melawan trauma pribadi, tetapi juga menghadapi penghakiman sosial yang melumpuhkan mereka. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan aman, kita harus berani mengikis budaya ini melalui edukasi, dukungan bagi korban, dan penegakan hukum yang tegas. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat membuka ruang bagi korban untuk bersuara dan menghentikan siklus kekerasan yang terus berulang. Dengan memerangi stigma, meningkatkan literasi seksual, dan menyediakan dukungan yang memadai, masyarakat dapat menciptakan lingkungan di mana korban merasa aman untuk berbicara dan mendapatkan keadilan.
Penulis adalah : Pengasuh PP. Pandawa NW Teko – Lombok Timur/ Dosen Aktivis Focal Point Gender Fak. Syariah UIN Mataram, saat ini sedang menempuh Program Beasiswa S3 LPDP – Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta. HP : 081917586847 Email : hurnawijaya1987@gmail.com