Monday, October 7, 2024
Google search engine
HomeBerita NTBLombok TimurNIKAH MASSAL : TRADISI MAULANA YANG HILANG (Catatan Menyambut Dzikrol Hauliyah ke...

NIKAH MASSAL : TRADISI MAULANA YANG HILANG (Catatan Menyambut Dzikrol Hauliyah ke – 59)

Oleh : Muh. Alwi Parhanudin, QH., S.Sos., M.S.I.

(Akademisi UIN Mataram, Dept. Kaderisasi PBNW, Pimpus Himmah NW, Mutakharrijin angkatan 43)

Ketika penulis menjadi thullab Ma’had di sekitar tahun 2004 – 2008, salah satu kegembiraan kami setiap acara adz-dzikra al-hauliyah adalah menyaksikan prosesi nikah massal dari puluhan pasangan mutakharrijin/jat setiap tahun. Bahkan tidak hanya di acara Dzikrol, nikah massal juga dilaksanakan saat Hultah Madrasah NWDI. Setiap akad mengandung keriuhan dan kegembiraan, sembari melafadzkan doa terbaik bagi sahabat-sahabat kami yang akan mengarungi bahtera keluarga sakinah ke depan.

Nikah massal adalah puncak. Sebelumnya, masyayikh tertentu membuka sebuah pengajian yang mengkaji kitab rumah tangga. Lebih tepatnya ngaji qurratul ‘uyun. Selain mempelajari adab-adab berumah tangga, syaikh kami juga memotivasi sedemikian rupa agar kami mengambil istri/memilih suami dari kalangan thullab ma’had calon mutakharrijin/jat. Hingga pada acara dzikrol tiba, hati kami berbahagia, tiada gundah gulana, ta’zhim kami kepada puluhan pasangan yang mendaftar untuk dinikahkan pada acara dzikrol berlangsung.

Namun belakangan, di beberapa dzikrol terakhir, prosesi nikah massal itu tidak terlihat lagi. Entah karena dilarang dengan alasan adab atau berhenti dengan alasan tidak ada yang mendaftar. Pada dasarnya, dihilangkan atau tidak, tergantung dari seberapa dalam kita merenungi makna di balik tradisi itu dalam penyebaran nilai-nilai nahdliyah dan ajaran-ajaran Nahdlatul Wathan.

Suatu peradaban akan dimulai dengan eksistensi sebuah keluarga. Setiap manusia melewati pengalaman sosial pertamanya pada tataran keluarga. Setiap anak yang lahir belajar mengenal dan mencintai sesuatu dari idealitas yang dipraktekkan oleh ibu bapaknya. Setiap generasi tumbuh dan berkembang dengan mengalami dan mengamalkan tradisi-tradisi, budaya-budaya dan ajaran-ajaran yang dianut secara komunal di dalam keluarganya. Idealitas sosial yang diprakondisikan sejak dini akan selalu mengakar, terikat dan tidak dapat dihilangkan dari memory kehidupan seseorang. Setiap cara pandang, cara pikir, tingkah laku dan keputusan-keputusan hidup yang diambil seseorang akan selalu dipengaruhi terutama sekali oleh nilai-nilai yang dianut dan diajarkan sejak lahir, yakni melalui sosialisasi dan interaksi intens di dalam keluarga.

Tentu hal inilah yang direnungi dan disadari secara utuh oleh Al-Magfurulah Maulana Syaikh. Penyebaran organisasi Nahdlatul Wathan berikut ajaran-ajaran beliau tentu tidak dapat maksimal hanya melalui acara-acara seremonial dan melalui dakwah-dakwah temporal atau insidental. Penyebaran itu harus laten, sistematis, substantif, dan bersifat kultural; yakni dakwah kolektif yang digagas oleh setiap keluarga di dalam masyarakat. Kesadaran beliau terutama sekali diungkapkan dalam sebuah bait syair : “kalau banin banat bersatu, berjuang bersama itu syurgamu.”

Al-magfurulah Maulana Syaikh benar-benar memaksimalkan apa yang disebut dengan strukturasi. Beliau adalah penggagas nilai-nilai komunal, dan para mutakharrijin/jat ma’had yang akan pulang ke kampung halaman masing-masing adalah agen praktisnya. Agen praktis dalam strukturasi Nahdlatul Wathan adalah mereka yang bertugas menjaga bai’at, mengamalkan thariqat, menjalankan wasiat, menyebarkan hizib, menjaga adab, dan memulai perjuangan ke-NW-an mereka di keluarga dan di kampung halaman masing-masing.

Sebagai agen praktis dan “para utusan” al-magfurulah Maulana Syaikh, pergerakan pertama yang dijalankan para mutakharrijin/jat Ma’had adalah membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah an-nahdliyah. Suatu keluarga yang dipayungi oleh idealitas kepala keluarganya, yaitu idealitas nilai yang diajarkan oleh al-magfurulah Maulana Syaikh. Di sinilah letak keistimewaan pasangan suami istri yang telah bersama-sama pernah bersimpuh menimba ilmu di Ma’had.  Mereka memiliki karakteristik ke-NW-an yang sangat kokoh, sebab saling menguatkan satu sama lain. Mereka sudah tidak lagi berbicara bagaimana menyatukan visi. Visi mereka sudah ditempa ketika di Ma’had dulu. Apabila sang suami khilaf dalam menjalankan keputusan organisasi, sang istrilah yang mengingatkannya. Apabila sang suami bermalas-malasan dalam memperjuangkan keputusan organisasi, sang istrilah yang akan memotivasinya. Apabila sang suami mengalami kesedihan dan kesusahan dalam berjuang, sang istrilah yang akan menghibur, menenangkan, dan memupuk semangatnya. Apabila sang suami menghadapi kekurangan dan kesulitan perjuangan, sang istrilah yang akan membantu segenap jiwa, raga bahkan harta pribadi yang dimilikinya. Mereka adalah “para Khadijah” terbaik sepanjang masa. Walhasil, pasangan “banin-banat” selalu berada di shaf pertama dalam perjuangan Nahdlatul Wathan.

Untuk memastikan strukturasi Nahdlatul Wathan ini berjalan, Maulana Syaikh membangun suatu tradisi yang memastikan bahwa di dalam setiap angkatan mutakharrijin/jat, terdapat puluhan abituren yang menikah se-almamater. Maulana Syaikh memastikan itu dengan menyaksikannya secara langsung, mengukuhkannya secara umum, dengan mengadakan nikah massal. Bahkan beliau menekankan : “me’ bau gamak beli atengku”, suatu permintaan tulus dari Guru kepada murid-muridnya untuk menikahi sesama pelajar Ma’had, mengingat penting dan beratnya amanat organisasi yang akan mereka emban di masa depan, sehingga harus dihadapi dan diselesaikan secara bersama-sama dalam satu ikatan keluarga.

Masa depan Nahdlatul Wathan tidak melulu dipastikan melalui bagaimana Nahdlatul Wathan menyelenggarakan afilisasi-afiliasi politik, menjaga sumber-sumber daya ekonomi, atau melestarikan suatu sistem pendidikan. Sebab siapa yang akan menjalankan instruksi-instruksi politik, menghidupkan amal jariyah, mengisi madrasah-madrasah, meramaikan majelis-majelis ta’lim, kecuali mereka para keluarga nahdliyah. Masa depan Nahdlatul Wathan yang unggul, terutama dalam menyongsong 1 abadnya, harus difokuskan juga melalui jalur kultural substantif. Yaitu dengan membangun keluarga-keluarga abituren dalam rangka mewujudkan realita sosial nahdliyah.

Menghidupkan kembali tradisi al-magfurulah Maulana Syaikh, yaitu nikah massal, adalah satu bentuk kebijaksanaan dalam menyikapi sejarah. Juga salah satu bentuk kepekaan menghadapi tantangan sosial saat ini. Nikah massal menjadi simbol pernikahan banin banat yang berasaskan tiga cinta : cinta di antara mereka, cinta kepada Nahdlatul Wathan, dan cinta terhadap Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Akhirnya, penulis mengucapkan selamat Adz-Dzikra al-Hauliyah ke 59 Ma’had Darul Qur’an wal Hadist al-Majidiyah Asy-Syafiiyah Nahdlatul Wathan di Anjani Lombok Timur. Tinggilah Ma’had tiada tara. Jayalah NW sepanjang masa.

Wallahu a’lam.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments